TEORI
PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN MENURUT ERIKSON, FREUD, DAN ALLPORT
Sigmund Freud
Menurut teori psikoanalitik Sigmund Freud, kepribadian terdiri dari
tiga elemen. Ketiga unsur kepribadian itu dikenal sebagai id, ego dan superego yang bekerja sama untuk menciptakan
perilaku manusia yang kompleks.
1. Id
Id
adalah satu-satunya komponen kepribadian yang hadir sejak lahir. Aspek
kepribadian sepenuhnya sadar dan termasuk dari perilaku naluriah dan primitif.
Menurut Freud, id adalah sumber segala energi psikis, sehingga komponen utama
kepribadian.
Id
didorong oleh prinsip kesenangan, yang berusaha untuk kepuasan segera dari
semua keinginan, keinginan, dan kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak puas
langsung, hasilnya adalah kecemasan negara atau ketegangan.
Sebagai
contoh, peningkatan rasa lapar atau haus harus menghasilkan upaya segera untuk
makan atau minum. id ini sangat penting awal dalam hidup, karena itu memastikan
bahwa kebutuhan bayi terpenuhi. Jika bayi lapar atau tidak nyaman, ia akan
menangis sampai tuntutan id terpenuhi.
Namun,
segera memuaskan kebutuhan ini tidak selalu realistis atau bahkan mungkin. Jika
kita diperintah seluruhnya oleh prinsip kesenangan, kita mungkin menemukan diri
kita meraih hal-hal yang kita inginkan dari tangan orang lain untuk memuaskan
keinginan kita sendiri. Perilaku semacam ini akan baik mengganggu dan sosial
tidak dapat diterima. Menurut Freud, id mencoba untuk menyelesaikan ketegangan
yang diciptakan oleh prinsip kesenangan melalui proses utama, yang melibatkan
pembentukan citra mental dari objek yang diinginkan sebagai cara untuk
memuaskan kebutuhan.
2. Ego
Ego
adalah komponen kepribadian yang bertanggung jawab untuk menangani dengan
realitas. Menurut Freud, ego berkembang dari id dan memastikan bahwa dorongan
dari id dapat dinyatakan dalam cara yang dapat diterima di dunia nyata. Fungsi
ego baik di pikiran sadar, prasadar, dan tidak sadar.
Ego
bekerja berdasarkan prinsip realitas, yang berusaha untuk memuaskan keinginan
id dengan cara-cara yang realistis dan sosial yang sesuai. Prinsip realitas
beratnya biaya dan manfaat dari suatu tindakan sebelum memutuskan untuk
bertindak atas atau meninggalkan impuls. Dalam banyak kasus, impuls id itu
dapat dipenuhi melalui proses menunda kepuasan – ego pada akhirnya akan
memungkinkan perilaku, tetapi hanya dalam waktu yang tepat dan tempat.
Ego
juga pelepasan ketegangan yang diciptakan oleh impuls yang tidak terpenuhi
melalui proses sekunder, di mana ego mencoba untuk menemukan objek di dunia
nyata yang cocok dengan gambaran mental yang diciptakan oleh proses primer
id’s.
3.
Superego
Komponen
terakhir untuk mengembangkan kepribadian adalah superego. superego adalah aspek
kepribadian yang menampung semua standar internalisasi moral dan cita-cita yang
kita peroleh dari kedua orang tua dan masyarakat – kami rasa benar dan salah.
Superego memberikan pedoman untuk membuat penilaian.
Ada
dua bagian superego:
Yang
ideal ego mencakup aturan dan standar untuk perilaku yang baik. Perilaku ini
termasuk orang yang disetujui oleh figur otoritas orang tua dan lainnya.
Mematuhi aturan-aturan ini menyebabkan perasaan kebanggaan, nilai dan prestasi.
Hati
nurani mencakup informasi tentang hal-hal yang dianggap buruk oleh orang tua
dan masyarakat. Perilaku ini sering dilarang dan menyebabkan buruk, konsekuensi
atau hukuman perasaan bersalah dan penyesalan. Superego bertindak untuk
menyempurnakan dan membudayakan perilaku kita. Ia bekerja untuk menekan semua
yang tidak dapat diterima mendesak dari id dan perjuangan untuk membuat
tindakan ego atas standar idealis lebih karena pada prinsip-prinsip realistis.
Superego hadir dalam sadar, prasadar dan tidak sadar.
Interaksi dari Id, Ego dan superego
Dengan kekuatan
bersaing begitu banyak, mudah untuk melihat bagaimana konflik mungkin timbul
antara ego, id dan superego. Freud menggunakan kekuatan ego istilah untuk
merujuk kepada kemampuan ego berfungsi meskipun kekuatan-kekuatan duel.
Seseorang dengan kekuatan ego yang baik dapat secara efektif mengelola tekanan
ini, sedangkan mereka dengan kekuatan ego terlalu banyak atau terlalu sedikit
dapat menjadi terlalu keras hati atau terlalu mengganggu.
Menurut Freud,
kunci kepribadian yang sehat adalah keseimbangan antara id, ego, dan superego.
Erik Erikson
Teori perkembangan kepribadian yang
dikemukakan Erik Erikson merupakan salah satu teori yang memiliki pengaruh kuat
dalam psikologi. Bersama dengan Sigmund Freud, Erikson mendapat posisi penting
dalam psikologi. Hal ini dikarenakan ia menjelaskan tahap perkembangan manusia
mulai dari lahir hingga lanjut usia; satu hal yang tidak dilakukan oleh Freud.
Selain itu karena Freud lebih banyak berbicara dalam wilayah ketidaksadaran
manusia, teori Erikson yang membawa aspek kehidupan sosial dan fungsi budaya
dianggap lebih realistis.
Teori Erikson dikatakan sebagai salah satu
teori yang sangat selektif karena didasarkan pada tiga alasan. Alasan yang pertama,
karena teorinya sangat representatif dikarenakan memiliki kaitan atau hubungan
dengan ego yang merupakan salah satu aspek yang mendekati kepribadian manusia. Kedua, menekankan
pada pentingnya perubahan yang terjadi pada setiap tahap perkembangan dalam
lingkaran kehidupan, dan yangketiga/terakhir adalah menggambarkan secara
eksplisit mengenai usahanya dalam mengabungkan pengertian klinik dengan sosial
dan latar belakang yang dapat memberikan kekuatan/kemajuan dalam perkembangan
kepribadian didalam sebuah lingkungan. Melalui teorinya Erikson memberikan
sesuatu yang baru dalam mempelajari mengenai perilaku manusia dan merupakan
suatu pemikiran yang sangat maju guna memahami persoalan/masalah psikologi yang
dihadapi oleh manusia pada jaman modern seperti ini. Oleh karena itu, teori
Erikson banyak digunakan untuk menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang
terkait dengan tahap perkembangan, baik anak, dewasa, maupun lansia.
Erikson dalam membentuk teorinya secara baik,
sangat berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya dalam hal ini mengenai
pertumbuhan egonya. Erikson berpendapat bahwa pandangan-pandangannya sesuai
dengan ajaran dasar psikoanalisis yang diletakkan oleh Freud. Jadi dapat
dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-freudian atau neofreudian. Akan
tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Hal ini
terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap
antropologis yang sangat besar, bahkan dia sering meminggirkan masalah insting
dan alam bawah sadar. Oleh sebab itu, maka di satu pihak ia menerima konsep
struktur mental Freud, dan di lain pihak menambahkan dimensi sosial-psikologis pada
konsep dinamika dan perkembangan kepribadian yang diajukan oleh Freud. Bagi
Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara
kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial.
Tampak dengan jelas bahwa yang dimaksudkan dengan psikososial apabila istilah
ini dipakai dalam kaitannya dengan perkembangan. Secara khusus hal ini berarti
bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh
pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi
matang secara fisik dan psikologis. Sedangkan konsep perkembangan yang diajukan
dalam teori psikoseksual yang menyangkut tiga tahap yaitu oral, anal, dan
genital, diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa sehingga dimasukkannya
cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan sekaligus dibentuk
oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya.
Pusat dari teori Erikson mengenai
perkembangan ego ialah sebuah asumpsi mengenai perkembangan setiap manusia yang
merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan
setiap manusia. Proses yang terjadi dalam setiap tahap yang telah disusun
sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic Principle” yang sudah
dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson mengemukakan persepsinya pada saat itu
bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip epigenetic. Di mana Erikson
dalam teorinya mengatakan melalui sebuah rangkaian kata yaitu :
(1) Pada dasarnya setiap perkembangan dalam
kepribadian manusia mengalami keserasian dari tahap-tahap yang telah ditetapkan
sehingga pertumbuhan pada tiap individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong,
mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas.
(2) Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk
memelihara saat setiap individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna
berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk mendorong secara tepat
berdasarkan dari perpindahan didalam tahap-tahap yang ada.
Dalam bukunya yang berjudul “Childhood
and Society” tahun 1963, Erikson membuat sebuah bagan untuk
mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam
psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah “delapan tahap perkembangan
manusia”. Erikson berdalil bahwa setiap tahap menghasilkan epigenetic.
Epigenetic berasal dari dua suku kata yaitu epi yang artinya
“upon” atau sesuatu yang sedang berlangsung, dangenetic yang
berarti “emergence” atau kemunculan. Gambaran dari perkembangan cermin mengenai
ide dalam setiap tahap lingkaran kehidupan sangat berkaitan dengan waktu, yang
mana hal ini sangat dominan dan karena itu muncul , dan akan selalu terjadi
pada setiap tahap perkembangan hingga berakhir pada tahap dewasa, secara
keseluruhan akan adanya fungsi/kegunaan kepribadian dari setiap tahap itu
sendiri. Selanjutnya, Erikson berpendapat bahwa tiap tahap psikososial juga
disertai oleh krisis. Perbedaan dalam setiap komponen kepribadian yang ada
didalam tiap-tiap krisis adalah sebuah masalah yang harus dipecahkan/diselesaikan.
Konflik adalah sesuatu yang sangat vital dan bagian yang utuh dari teori
Erikson, karena pertumbuhan dan perkembangan antar personal dalam sebuah
lingkungan tentang suatu peningkatan dalam sebuah sikap yang mudah sekali
terkena serangan berdasarkan fungsi dari ego pada setiap tahap.
Erikson percaya “epigenetic
principle” akan mengalami kemajuan atau kematangan apabila dengan
jelas dapat melihat krisis psikososial yang terjadi dalam lingkaran kehidupan
setiap manusia yang sudah dilukiskan dalam bentuk sebuah gambar Di mana gambar
tersebut memaparkan tentang delapan tahap perkembangan yang pada umumnya
dilalui dan dijalani oleh setiap manusia secara hirarkri seperti anak tangga.
Di dalam kotak yang bergaris diagonal menampilkan suatu gambaran mengenai adanya
hal-hal yang bermuatan positif dan negatif untuk setiap tahap secara
berturut-turut. Periode untuk tiap-tiap krisis, Erikson melukiskan mengenai
kondisi yang relatif berkaitan dengan kesehatan psikososial dan cocok dengan
sakit yang terjadi dalam kesehatan manusia itu sendiri.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa
dengan berangkat dari teori tahap-tahap perkembangan psikoseksual dari Freud
yang lebih menekankan pada dorongan-dorongan seksual, Erikson mengembangkan
teori tersebut dengan menekankan pada aspek-aspek perkembangan sosial. Melalui
teori yang dikembangkannya yang biasa dikenal dengan sebutan Theory of
Psychosocial Development (Teori Perkembangan Psikososial), Erikson
tidak berniat agar teori psikososialnya menggantikan baik teori psikoseksual Freud
maupun teori perkembangan kognitif Piaget. Ia mengakui bahwa teori-teori ini
berbicara mengenai aspek-aspek lain dalam perkembangan. Selain itu di sisi lain
perlu diketahui pula bahwa teori Erikson menjangkau usia tua sedangkan teori
Freud dan teori Piaget berhenti hanya sampai pada masa dewasa.
Meminjam kata-kata Erikson melalui seorang
penulis buku bahwa “apa saja yang tumbuh memiliki sejenis rencana dasar, dan
dari rencana dasar ini muncullah bagian-bagian, setiap bagian memiliki waktu
masing-masing untuk mekar, sampai semua bagian bersama-sama ikut membentuk
suatu keseluruhan yang berfungsi. Oleh karena itu, melalui delapan tahap
perkembangan yang ada Erikson ingin mengemukakan bahwa dalam setiap tahap
terdapat maladaption/maladaptif (adaptasi keliru) dan malignansi (selalu
curiga) hal ini berlangsung kalau satu tahap tidak berhasil dilewati atau gagal
melewati satu tahap dengan baik maka akan tumbuh maladaption/maladaptif dan
juga malignansi, selain itu juga terdapatritualisasi yaitu
berinteraksi dengan pola-pola tertentu dalam setiap tahap perkembangan yang
terjadi serta ritualisme yang berarti pola hubungan yang tidak
menyenangkan. Menurut Erikson delapan tahap perkembangan yang ada berlangsung
dalam jangka waktu yang teratur maupun secara hirarkri, akan tetapi jika dalam
tahap sebelumnya seseorang mengalami ketidakseimbangan seperti yang diinginkan
maka pada tahap sesudahnya dapat berlangsung kembali guna memperbaikinya.
Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian
menurut Erikson memiliki ciri utama setiap tahapnya adalah di satu pihak
bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan melalui
krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan tahap
perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah sebagai
berikut :
Kedelapan
tahapan perkembangan kepribadian dapat digambarkan dalam tabel berikut ini :
Developmental
Stage
|
Basic
Components
|
Infancy
(0-1 thn)
Early
childhood (1-3 thn)
Preschool
age (4-5 thn)
School
age (6-11 thn)
Adolescence
(12-10 thn)
Young
adulthood ( 21-40 thn)
Adulthood
(41-65 thn)
Senescence
(+65 thn)
|
Trust
vs Mistrust
Autonomy
vs Shame, Doubt
Initiative
vs Guilt
Industry
vs Inferiority
Identity
vs Identity Confusion
Intimacy
vs Isolation
Generativity
vs Stagnation
Ego
Integrity vs Despair
|
- Trust
vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)
Masa bayi (infancy) ditandai adanya
kecenderungan trust – mistrust. Perilaku bayi didasari oleh dorongan
mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang di sekitarnya. Dia sepenuhnya
mempercayai orang tuanya, tetapi orang yang dianggap asing dia tidak akan mempercayainya.
Oleh karena itu kadang-kadang bayi menangis bila di pangku oleh orang yang
tidak dikenalnya. Ia bukan saja tidak percaya kepada orang-orang yang asing
tetapi juga kepada benda asing, tempat asing, suara asing, perlakuan asing dan
sebagainya. Kalau menghadapi situasi-situasi tersebut
seringkali bayi menangis.
Tahap ini berlangsung pada masa oral,
kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada
tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan
kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina
dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur
dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat
membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini
ibu memiliki peranan yang secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan
kepribadian anaknya yang masih kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa
hangat dan dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu
akan mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial
sebagai suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada
didalamnya dapat dipercaya dan saling menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh
seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa
aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa
tersebut bayi belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil
dari adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya
serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap
lingkungannya.
Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat
memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa hangat dan
nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari
kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan
lebih mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang
lain.
Hal ini jangan dipahami bahwa peran
sebagai orangtua harus serba sempurna tanpa ada kesalahan/cacat. Karena
orangtua yang terlalu melindungi anaknya pun akan menyebabkan anak punya
kecenderungan maladaptif. Erikson menyebut hal ini dengan sebutan salah penyesuaian
indrawi. Orang yang selalu percaya tidak akan pernah mempunyai pemikiran maupun
anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat padanya, dan akan memgunakan
seluruh upayanya dalam mempertahankan cara pandang seperti ini. Dengan kata
lain,mereka akan mudah tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal terburuk dapat
terjadi apabila pada masa kecilnya sudah merasakan ketidakpuasan yang dapat
mengarah pada ketidakpercayaan. Mereka akan berkembang pada arah kecurigaan dan
merasa terancam terus menerus. Hal ini ditandai dengan
munculnya frustasi, marah, sinis, maupun depresi.
Pada dasarnya setiap manusia pada tahap ini
tidak dapat menghindari rasa kepuasan namun juga rasa ketidakpuasan yang dapat
menumbuhkan kepercayaan dan ketidakpercayaan. Akan tetapi, hal inilah yang akan
menjadi dasar kemampuan seseorang pada akhirnya untuk dapat menyesuaikan diri
dengan baik. Di mana setiap individu perlu mengetahui dan membedakan kapan
harus percaya dan kapan harus tidak percaya dalam menghadapi berbagai tantangan
maupun rintangan yang menghadang pada perputaran roda kehidupan manusia tiap
saat.
Adanya perbandingan yang tepat atau apabila
keseimbangan antara kepercayaan dan ketidakpercayaan terjadi pada tahap ini
dapat mengakibatkan tumbuhnya pengharapan. Nilai lebih yang akan berkembang di
dalam diri anak tersebut yaitu harapan dan keyakinan yang sangat kuat bahwa
kalau segala sesuatu itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi mereka
masih dapat mengolahnya menjadi baik.
Pada aspek lain dalam setiap tahap
perkembangan manusia senantiasa berinteraksi atau saling berhubungan dengan
pola-pola tertentu (ritualisasi). Oleh sebab itu, pada tahap ini bayi pun
mengalami ritualisasi di mana hubungan yang terjalin dengan ibunya dianggap
sebagai sesuatu yang keramat (numinous). Jika hubungan tersebut terjalin dengan
baik, maka bayi akan mengalami kepuasan dan kesenangan tersendiri. Selain itu,
Alwisol berpendapat bahwa numinous ini pada akhirnya akan menjadi dasar
bagaimana orang menghadapi/berkomunikasi dengan orang lain, dengan penuh
penerimaan, penghargaan, tanpa ada ancaman dan perasaan takut. Sebaliknya,
apabila dalam hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang dari
seorang ibu akan merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi suatu
pola kehidupan yang lain di mana bayi merasa berinteraksi secara interpersonal
atau sendiri dan dapat menyebabkan adanya idolism (pemujaan).
Pemujaan ini dapat diartikan dalam dua arah yaitu anak akan memuja dirinya
sendiri, atau sebaliknya anak akan memuja orang lain.
- Otonomi vs Perasaan Malu dan
Ragu-ragu
Masa kanak-kanak awal (early childhood)
ditandai adanya kecenderungan autonomy – shame, doubt. Pada masa ini sampai
batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam arti duduk,
berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang
tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai memiliki rasa malu dan keraguan
dalam berbuat, sehingga seringkali minta pertolongan atau persetujuan dari
orang tuanya.
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot
(anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung
mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan
pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan
malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan
orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan
suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya
bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan
ragu-ragu. Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat
memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang
anak yang menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan dan mengubah
lingkungannya, anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau
ketidaktergantungan. Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk
mengontrol tubuhnya, sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau
perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman baru yang berorientasi pada
suatu tindakan/kegiatan yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol
diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain. Misalnya, saat
anak belajar berjalan, memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk
menyentuh benda-benda lain.
Di lain pihak, anak dalam perkembangannya pun
dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang
gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah
karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak
sendirian.
Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini
tidak perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya.
Dengan kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah kalimat
yang seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam mengasuh
anaknya yakni “tegas namun toleran”. Makna dalam kalimat tersebut ternyata
benar adanya, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol
diri dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan
memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya
perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang
disebut Erikson sebagai impulsiveness(terlalu menuruti kata hati),
sebaliknya apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu
juga tidak baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang
disebut Erikson compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak
selalu menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang
mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara sempurna.
Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak dapat menghindari
suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan ragu-ragu.
Jikalau dapat mengatasi krisis antara
kemandirian dengan rasa malu dan ragu-ragu dapat diatasi atau jika diantara
keduanya terdapat keseimbangan, maka nilai positif yang dapat dicapai yaitu
adanya suatu kemauan atau kebulatan tekad. Meminjam kata-kata dari Supratiknya
yang menyatakan bahwa “kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima
peraturan hukum dan kewajiban”.
Ritualisasi yang dialami oleh anak pada tahap
ini yaitu dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme. Melalui
tahap ini anak sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat menilai mana
yang salah dan mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku orang lain yang
disebut sebagai sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola pengasuhan
terdapat penyimpangan maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni merasa puas
apabila orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak yang menang
sehingga anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada penerapannya
menurut Alwisol mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa ampun, dan
tanpa rasa belas kasih.
- Inisiatif
vs Kesalahan
Masa pra sekolah (Preschool Age) ditandai
adanya kecenderungan initiative – guilty. Pada masa ini anak telah memiliki
beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong melakukan
beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut masih terbatas
adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan
dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak mau berinisatif
atau berbuat.
Tahap ketiga ini juga dikatakan sebagai
tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap
bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3
sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini
ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan
kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar
dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari
kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan sikap
inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi
nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara
mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi, semuanya
akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami hambatan
karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya
yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah
atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang
mereka rasakan dan lakukan.
Ketidakpedulian
(ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini
terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu
minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu
apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau
karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang
menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan
demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak saat berada pada periode
mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak selalu merasa bersalah
akan mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri (inhibition).
Berdiam diri merupakan suatu sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk
mencoba melakukan apa-apa, sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan
merasa terhindar dari suatu kesalahan.
Kecenderungan
atau krisis antara keduanya dapat diseimbangkan, maka akan lahir suatu
kemampuan psikososial adalah tujuan (purpose). Selain itu, ritualisasi yang
terjadi pada masa ini adalah masa dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam
pengertiannya dipahami sebagai suatu interaksi yang terjadi pada seorang anak
dengan memakai fantasinya sendiri untuk berperan menjadi seseorang yang berani.
Sedangkan impersonasi dalam pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan
oleh seorang anak namun tidak berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu,
rangakain kata yang tepat untuk menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa
keberanian, kemampuan untuk bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan
pemahaman mengenai keterbatasan dan kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya.
- Kerajinan
vs Inferioritas
Masa
Sekolah (School Age) ditandai adanya kecenderungan industry–inferiority.
Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak
sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk
mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak
lain karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya
kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan
dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa rendah diri.
Tahap
keempat ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang terjadi pada usia sekolah
dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah
satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan
kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat
anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan
keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran,
misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman
harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.
Tingkatan
ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang pada awalnya
hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia bahwa
rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam
belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya
berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan
tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak
dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas),
sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu,
peranan orang tua maupun guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang
menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang
dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih
banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya
tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka.
Kecenderungan maladaptif akan tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan
rajin terlalu besar yang mana peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai
keahlian sempit. Di sisi lain jika anak kurang memiliki rasa giat dan rajin
maka akan tercermin malignansi yang disebut dengan kelembaman. Mereka yang
mengidap sifat ini oleh Alfred Adler disebut dengan “masalah-masalah
inferioritas”. Maksud dari pengertian tersebut yaitu jika seseorang tidak
berhasil pada usaha pertama, maka jangan mencoba lagi. Usaha yang sangat baik
dalam tahap ini sama seperti tahap-tahap sebelumnya adalah dengan
menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan begitu ada nilai positif
yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi.
Dalam
lingkungan yang ada pola perilaku yang dipelajari pun berbeda dari tahap
sebelumnya, anak diharapkan mampu untuk mengerjakan segala sesuatu dengan
mempergunakan cara maupun metode yang standar, sehingga anak tidak terpaku pada
aturan yang berlaku dan bersifat kaku. Peristiwa tersebut biasanya dikenal
dengan istilah formal. Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu
mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara atau metode yang sesuai
dengan aturan yang ditentukan untuk memperoleh hasil yang sempurna, maka anak
akan memiliki sikap kaku dan hidupnya sangat terpaku pada aturan yang berlaku.
Hal inilah yang dapat menyebabkan relasi dengan orang lain menjadi terhambat.
Peristiwa ini biasanya dikenal dengan istilah formalism.
- Identitas
vs Kekacauan Identitas
Tahap kelima merupakan tahap adolesen
(remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20
tahun. Masa Remaja (adolescence) ditandai adanya kecenderungan identity –
Identity Confusion. Sebagai persiapan ke arah kedewasaan didukung pula oleh
kemampuan dan kecakapan-kecakapan yang dimilikinya dia berusaha untuk membentuk
dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan
membentuk dan memperlihatkan identitasdiri ini, pada para remaja sering sekali
sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh
lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan
identitas diri yang kuat di satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan
dan toleransi yang besar terhadap kelompok sebayanya. Di antara kelompok sebaya
mereka mengadakan pembagian peran, dan seringkali mereka sangat patuh terhadap
peran yang diberikan kepada masing-masing anggota
Pencapaian identitas pribadi dan
menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam
tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan
penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego,
dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan
bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap
ini semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan
masyarakat yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas terjadi pada tahap ini,
kalau pada tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka
segenap identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial
secara aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan
mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya
bagi orang lain, selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa
mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu terjadi
karena mereka sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego merupakan
kulminasi nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Dalam arti
kata yang lain pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap
pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu, salah
satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya
berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak
tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah
pergaulan dan struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion
atau kekacauan identitas.
Akan tetapi di sisi lain jika
kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan identitas,
maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap masyarakat yang
bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan
sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap
bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika
kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson
menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat
ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya
mereka akan mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari
kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima
dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya.
Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai
positif yang dapat dipetik dalam tahap ini, jikalau antara identitas ego dan
kekacauan identitas dapat berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan
memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang
berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan
ketidakkonsistennya.
Ritualisasi yang nampak dalam tahap
adolesen ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.
- Keintiman
vs Isolasi
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah
dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa
dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Masa Dewasa Awal (Young
adulthood) ditandai adanya kecenderungan intimacy – isolation. Kalau pada masa
sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, namun
pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Mereka sudah mulai selektif,
dia membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham.
Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan
orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.
Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin
mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap
menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang
lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan
mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman
dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang
terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh
yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk
menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa
terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam
periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas,
sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa
tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat,
tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara
dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu
kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta,
persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam
sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh sebab itu, kecenderungan antara
keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai
yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk
mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling
membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup
hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga,
sahabat, dan lain-lain.
Ritualisasi yang terjadi pada tahan ini
yaitu adanya afiliasi dan elitisme. Afilisiasi menunjukkan suatu sikap yang
baik dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan
sahabat, kekasih, dan lain-lain. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang
kurang terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain.
- Generativitas
vs Stagnasi
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada
posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai
60 tahun. Masa Dewasa (Adulthood) ditandai adanya kecenderungan
generativity-stagnation. Sesuai dengan namanya masa dewasa, pada tahap ini
individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala kemampuannya.
Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangan
individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu sangat luas,
tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan kecakapan,
sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk
mengerjakan atau mencapai hal– hal tertentu ia mengalami hambatan.
Apabila pada tahap pertama sampai dengan
tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan
salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan
antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa
(stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini
adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui generativitas
akan dapat dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman ini sangat
jauh berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan
sikap yang dapat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap
siapapun.
Maladaptif yang kuat akan menimbulkan
sikap terlalu peduli, sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengurus diri
sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah penolakan, di mana seseorang
tidak dapat berperan secara baik dalam lingkungan kehidupannya akibat dari
semua itu kehadirannya ditengah-tengah area kehiduannya kurang mendapat sambutan
yang baik.
Harapan yang ingin dicapai pada masa ini
yaitu terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna
mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi
dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme. Generasional ialah suatu
interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara
orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan
otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang lebih
berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan yang
ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan diantara orang dewasa
dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan.
- Integritas
vs Keputusasaan
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson
disebut tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60
atau 65 ke atas. Masa hari tua (Senescence) ditandai adanya kecenderungan ego
integrity – despair. Pada masa ini individu telah memiliki kesatuan atau
intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik
pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang
mendekati akhir. Mungkin ia masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang
akan dicapainya tetapi karena faktor usia, hal itu sedikit sekali kemungkinan
untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini individu merasa putus asa. Dorongan
untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena usia
seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan acapkali
menghantuinya
Dalam teori Erikson, orang yang sampai
pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan
yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan berupaya
menghilangkan putus asa dan kekecewaan. Tahap ini merupakan tahap yang sulit
dilewati menurut pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka sudah merasa
terasing dari lingkungan kehidupannya, karena orang pada usia senja dianggap
tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna. Kesulitan tersebut dapat
diatasi jika di dalam diri orang yang berada pada tahap paling tinggi dalam
teori Erikson terdapat integritas yang memiliki arti tersendiri yakni menerima
hidup dan oleh karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup itu sendiri.
Namun, sikap ini akan bertolak belakang jika didalam diri mereka tidak terdapat
integritas yang mana sikap terhadap datangnya kecemasan akan terlihat.
Kecenderungan terjadinya integritas lebih kuat dibandingkan dengan kecemasan
dapat menyebabkan maladaptif yang biasa disebut Erikson berandai-andai,
sementara mereka tidak mau menghadapi kesulitan dan kenyataan di masa tua.
Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan lebih kuat dibandingkan dengan
integritas maupun secara malignansi yang disebut dengan sikap menggerutu, yang
diartikan Erikson sebagai sikap sumaph serapah dan menyesali kehidupan sendiri.
Oleh karena itu, keseimbangan antara integritas dan kecemasan itulah yang ingin
dicapai dalam masa usia senja guna memperoleh suatu sikap kebijaksanaan.